CLICK HERE FOR THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Selasa, 19 Februari 2008

wayang

Wayang 

Untuk pengertian lain dari Wayang, lihat Wayang (disambiguasi).


Batara Guru (Siwa) dalam bentuk seni wayang Jawa.
Wayang Bali.

Wayang adalah seni tradisional Indonesia yang terutama berkembang di Pulau Jawa dan Bali. Pertunjukan wayang telah diakui oleh UNESCO pada tanggal 7 November 2003, sebagai karya kebudayaan yang mengagumkan dalam bidang cerita narasi dan warisan yang indah dan sangat berharga (Masterpiece of Oral and Intangible Heritage of Humanity).

Ada versi wayang yang dimainkan oleh orang dengan memakai kostum, yang dikenal sebagai wayang orang, dan ada pula wayang yang berupa sekumpulan boneka yang dimainkan oleh dalang. Wayang yang dimainkan dalang ini diantaranya berupa wayang kulit atau wayang golek. Cerita yang dikisahkan dalam pagelaran wayang biasanya berasal dari Mahabharata dan Ramayana.

Kadangkala repertoar cerita Panji dan cerita Menak (cerita-cerita Islam) dipentaskan pula.

Wayang, oleh para pendahulu negri ini sangat mengandung arti yang sangat dalam sekali. Sunan Kali Jaga dan Raden Patah sangat berjasa dalam mengembangkan Wayang. Para Wali di Tanah Jawa sudah mengatur sedemikian rupa menjadi tiga bagian. Pertama Wayang Kulit di Jawa Timur, kedua Wayang Wong atau Wayang Orang di Jawa Tengah, dan ketiga Wayang Golek di Jawa Barat. Masing masing sangat bekaitan satu sama lain. Yaitu "Mana yang Isi(Wayang Wong) dan Mana yang Kulit (Wayang Kulit) harus dicari (Wayang Golek)".


Jenis-jenis wayang
Wayang kulit
Wayang golek/ Wayang Thengul Bojonegoro
Wayang Krucil
Wayang Purwa
Wayang Beber
Wayang Orang
Wayang gedog
Wayang Sasak
Wayang calonarang
Wayang wahyu
Wayang menak
Wayang klitik
Wayang suluh
Wayang papak
Wayang madya
Wayang Parwa
Wayang sadat
Wayang kancil

Jenis-jenis wayang kulit menurut asal daerah atau suku
Wayang Jawa Yogyakarta
Wayang Jawa Surakarta
Wayang Kulit Gagrag Banyumasan
Wayang Bali
Wayang Kulit Banjar (Kalimantan Selatan)
Wayang Palembang (Sumatera Selatan)
Wayang Betawi (Jakarta)
Wayang Cirebon (Jawa Barat)
Wayang Madura (sudah punah)



Jumat, 15 Februari 2008

Kendang (Gamelan Jawa)

Kendang adalah instrumen dalam gamelan Jawa Barat yang salah satu fungsi utamanya mengatur irama. Instrument ini dibunyikan dengan tangan, tanpa alat bantu.Jenis kendang yang kecil disebut ketipung, yang menengah disebut kendang ciblon/kebar.Pasangan ketipung ada satu lagi bernama kendang gedhe biasa disebut kendang kalih.Kendang kalih dimainkan pada lagu atau gendhing yang pelan seperti ketawang, gendhing kethuk kalih, bedhayan,dan ladrang irama dadi. Bisa juga dimainkan cepat pada pembukaan lagu jenis lancaran ,ladrang irama lamba. Untuk wayangan ada satu lagi kendhang yang khas yaitu kendhang kosek.

Wayang Kulit Gagrag Banyumasan

Wayang Kulit Gagrag Banyumasan merupakan salah satu gaya pedalangan di tanah Jawa, yang lebih dikenal dengan istilah pakeliran, dan berperan sebagai bentuk seni klangenan serta dijadikan wahana untuk mempertahankan nilai etika, devosional dan hiburan, yang kualitasnya selalu terjaga dan ditangani sungguh-sungguh oleh para pakar yang memahami benar. Pakeliranlakon wayang ( penyajian alur cerita dan maknanya), sabet ( seluruh gerak wayang), catur ( narasi dan cakapan) , karawitan ( gendhing, sulukan dan properti panggung ) . ini mencakup unsur-unsur yaitu,

Pakeliran Gagrag Banyumasan, mempunyai nuansa kerakyatan yang kental sebagaimana karakter masyarakatnya , jujur dan terus terang , dan hidup serta berkembang di daerah eks Karesidenan Banyumas, merupakan ekspresi dan sifatnya lebih bebas, sederhana, serta lugas dan mampu bertahan sampai saat ini dalam menghadapi perubahan jaman, karena memperoleh simpati dan dicintai masyarakatnya.

Hal ini berbeda dengan pakeliran gaya kerakyatan daerah lain, yang cenderung punah terutama didaerah yang dekat dengan pusat kekuasaan Keraton, misalkan saja Wonogiri, Sragen dan Karanganyar, dimana pengaruh pedalangan Keraton seperti Kesultanan Yogyakarta dengan pendirian seni pedalangan Hambiwarakake Rancangan Andhalang (Habirandha (1925)) , Kasunanan Surakarta dengan Pasinaoun Dhalang Surakarta (Padhasuka (1923)) dan awal tahun 1920 Mangkunegaran mendirikan Pasinaon Dalang Mangkunegaran (PMDN), cenderung menekan pakeliran gaya kerakyatan sekitarnya, dan mejadikan pelestariannya merupakan tantangan tersendiri .

Pedalangan Gagrag Banyumasan, memperoleh pengaruh serta memiliki tatanan atau pakem dari seni pedalangan Surakarta dan Yogyakarta, akan tetapi mempunyai ciri khas tersendiri dengan penokohan Bawor dengan lagu Kembang Lepang serta Gendhing Banyumasan. Seni pedhalangan Gagrag Banyumasan ini kemudian dibakukan dan dilestarikan oleh para pakar pedhalangan Banyumas dalam paguyuban ganasidi/pedalangan eks karesidenan Banyumas, yang diselenggarakan di Kawedanan Bukateja tanggal 21 April 1979.

Perkembangan Pedalangan Gagrak Banyumasan

Seperti juga seni pedalangan Indonesia yang lain, berkembang semenjak pengaruh Hindu, dengan berdirinya Mataram Hindu dengan serat Ramayana, era 898 M dalam bahasa Sansekerta dengan pengaruh India yang kuat, kemudian berkembang sejalan dengan penggunaan bahasa Jawa kuno atau bahasa Kawi. Seni pedhalangan memasuki jaman keemasan pada era Kediri (1042-1222) dalam pemerintahan Raja Jayabaya (1135-1157), berkembangnya penulisan dan karya sastra seperti serat Bharatayuda, serat Hariwangsa, serat GathutkacasrayaMpu Panuluh dan Wayang Purwa yang merupakan cikal bakal dan perkembangan seni pedalangan di Nusantara. oleh

Pengaruh kuat lainnya pada pedalangan Banyumasan, yaitu pada jaman kesultanan DemakKesultanan Pajang (1546–1587), sampai dengan pengaruh Mataram pada jaman Plered (1645-1677) era Amangkurat Tegalarum yang secara khusus mempunyai perhatian besar untuk karesidenan Banyumas , dan mengutus dalang Ki Lebdajiwa ke Ajibarang, untuk lebih mengembangkan seni pedalangan Gagrag Banyumasan. (1478-1546), kemudian

Pengaruh Gagrag Mataram (Surakarta dan Yogjakarta) lebih kuat, terutama melalui kawasan pesisir kidul, dan dikenal dengan seni pedalangan Banyumas pesisiran atau Gagrag Kidul Gunung, pengaruhnya dapat diketahui sampai dengan kisaran tahun 1920, dan terus berkembang melalui dalang trah Gombong ,yaitu Ki Cerma sampai dengan Ki Dhalang Menganti.

Sedangkan kawasan depan Banyumas (dari Purbalingga kemudian menyusuri Sungai Serayu , menuju kearah Barat), mempunyai pakeliran tersendiri dan dikenal dengan Gagrag Lor Gunung, seperti berkembang melalui dalang trah Kesugihan (aslinya dari pengembangan pesisiran) diantaranya Ki Dalang Tutur, dan terus berkembang samapai dengan era Ki Dalang Parsa, Ki Dalang Sugih. Akan tetapi yang cenderung tidak terpengaruh dhalang pesisiran adalah Ki Dalang Waryan dari Kalimanah.

Sehingga sampai sekarang tetap dikenal dan lestari seni tradisionil yaitu, Pedalangan Gagrag Banyumasan Kidul Gunung dan Pedalangan Gagrag Banyumasan Lor Gunung ( Redi Kendeng).

Lakon

Dalam Wayang Gagrag Banyumasan mempunyai ciri khas dalam penceritaan yang lebih memperjelas peran rakyat kecil yang dimanivestasikan dalam tokoh punakawan seperti cerita Bawor Dadi Ratu, Petruk Krama dan lain-lain selain itu pula wayang Gagrag Banyumasan lebih menonjolkan peran para muda dalam penyelesaian kasus-kasus dan permasalahan. Cerita Srikandi Mbarang Lengger' yang merupakan terusan lakon Srenggini Takon Rama adalah salah satu contoh kongkrit bahwa peran pemuda seperti Antasena dan Wisanggeni menjadi sangat sentral.

Reog (Ponorogo)

Reog (Ponorogo)

Salah satu tarian Pembuka
Salah satu tarian Pembuka
Topeng barong reog yang dipakai sebagai atraksi penutup
Topeng barong reog yang dipakai sebagai atraksi penutup

Reog adalah salah satu kesenian budaya yang berasal dari Jawa Timur bagian barat-laut dan Ponorogo dianggap sebagai kota asal Reog yang sebenarnya. Gerbang kota Ponorogo dihiasi oleh sosok Warok dan Gemblak, dua sosok yang ikut tampil pada saat Reog dipertunjukkan [1] . Reog adalah salah satu bukti budaya daerah di Indonesia yang masih sangat kental dengan hal-hal yang berbau mistik dan ilmu kebatinan yang kuat.


Sejarah Reog Ponorogo

Pada dasarnya ada lima versi cerita populer yang berkembang di masyarakat tentang asal-usul Reog dan Warok [2], namun salah satu cerita yang paling terkenal adalah cerita tentang pemberontakan Ki Ageng Kutu, seorang abdi kerajaan pada masa Bra Kertabumi, Raja Majapahit terakhir yang berkuasa pada abad ke-15. Ki Ageng Kutu murka akan pengaruh kuat dari pihak rekan Cina rajanya dalam pemerintahan dan prilaku raja yang korup, ia pun melihat bahwa kekuasaan Kerajaan Majapahit akan berakhir. Ia lalu meninggalkan sang raja dan mendirikan perguruan dimana ia mengajar anak-anak muda seni bela diri, ilmu kekebalan diri, dan ilmu kesempurnaan dengan harapan bahwa anak-anak muda ini akan menjadi bibit dari kebangkitan lagi kerajaan Majapahit kelak. Sadar bahwa pasukannya terlalu kecil untuk melawan pasukan kerajaan maka pesan politis Ki Ageng Kutu disampaikan melalui pertunjukan seni Reog, yang merupakan "sindiran" kepada Raja Bra Kertabumi dan kerajaannya. Pagelaran Reog menjadi cara Ki Ageng Kutu membangun perlawanan masyarakat lokal menggunakan kepopuleran Reog.

Dalam pertunjukan Reog ditampilkan topeng berbentuk kepala singa yang dikenal sebagai "Singa Barong", raja hutan, yang menjadi simbol untuk Kertabumi, dan diatasnya ditancapkan bulu-bulu merak hingga menyerupai kipas raksasa yang menyimbolkan pengaruh kuat para rekan Cinanya yang mengatur dari atas segala gerak-geriknya. Jatilan, yang diperankan oleh kelompok penari gemblak[3]. Populernya Reog Ki Ageng Kutu akhirnya menyebabkan Kertabumi mengambil tindakan dan menyerang perguruannya, pemberontakan oleh warok dengan cepat diatasi, dan perguruan dilarang untuk melanjutkan pengajaran akan warok. Namun murid-murid Ki Ageng kutu tetap melanjutkannya secara diam-diam. Walaupun begitu, kesenian Reognya sendiri masih diperbolehkan untuk dipentaskan karena sudah menjadi pertunjukan populer diantara masyarakat, namun jalan ceritanya memiliki alur baru dimana ditambahkan karakter-karakter dari cerita rakyat Ponorogo yaitu Kelono Sewondono, Dewi Songgolangit, and Sri Genthayu. yang menunggangi kuda-kudaan menjadi simbol kekuatan pasukan Kerajaan Majapahit yang menjadi perbandingan kontras dengan kekuatan warok, yang berada dibalik topeng badut merah yang menjadi simbol untuk Ki Ageng Kutu, sendirian dan menopang berat topeng singabarong yang mencapai lebih dari 50kg hanya dengan menggunakan giginya

Versi resmi alur cerita Reog Ponorogo kini adalah cerita tentang Raja Ponorogo yang berniat melamar putri Kediri, Dewi Ragil Kuning, namun ditengah perjalanan ia dicegat oleh Raja Singabarong dari Kediri. Pasukan Raja Singabarong terdiri dari merak dan singa, sedangkan dari pihak Kerajaan Ponorogo Raja Kelono dan Wakilnya Bujanganom, dikawal oleh warok (pria berpakaian hitam-hitam dalam tariannya), dan warok ini memiliki ilmu hitam mematikan. Seluruh tariannya merupakan tarian perang antara Kerajaan Kediri dan Kerajaan Ponorogo, dan mengadu ilmu hitam antara keduanya, para penari dalam keadaan 'kerasukan' saat mementaskan tariannya [4] .

Hingga kini masyarakat Ponorogo hanya mengikuti apa yang menjadi warisan leluhur mereka sebagai pewarisan budaya yang sangat kaya. Dalam pengalamannya Seni Reog merupakan cipta kreasi manusia yang terbentuk adanya aliran kepercayaan yang ada secara turun temurun dan terjaga. Upacaranya pun menggunakan syarat-syarat yang tidak mudah bagi orang awam untuk memenuhinya tanpa adanya garis keturunan yang jelas. mereka menganut garis keturunan Parental dan hukum adat yang masih berlaku.

Pementasan Seni Reog

Reog Ponorogo
Reog Ponorogo

Reog modern biasanya dipentaskan dalam beberapa peristiwa seperti pernikahan, khitanan dan hari-hari besar Nasional. Seni Reog Ponorogo terdiri dari beberapa rangkaian 2 sampai 3 tarian pembukaan. Tarian pertama biasanya dibawakan oleh 6-8 pria gagah berani dengan pakaian serba hitam, dengan muka dipoles warna merah. Para penari ini menggambarkan sosok singa yang pemberani. Berikutnya adalah tarian yang dibawakan oleh 6-8 gadis yang menaiki kuda. Pada reog tradisionil, penari ini biasanya diperankan oleh penari laki-laki yang berpakaian wanita. Tarian ini dinamakan tari jaran kepang, yang harus dibedakan dengan seni tari lain yaitu tari kuda lumping. Tarian pembukaan lainnya jika ada biasanya berupa tarian oleh anak kecil yang membawakan adegan lucu.

Setelah tarian pembukaan selesai, baru ditampilkan adegan inti yang isinya bergantung kondisi dimana seni reog ditampilkan. Jika berhubungan dengan pernikahan maka yang ditampilkan adalah adegan percintaan. Untuk hajatan khitanan atau sunatan, biasanya cerita pendekar,

Adegan dalam seni reog biasanya tidak mengikuti skenario yang tersusun rapi. Disini selalu ada interaksi antara pemain dan dalang (biasanya pemimpin rombongan) dan kadang-kadang dengan penonton. Terkadang seorang pemain yang sedang pentas dapat digantikan oleh pemain lain bila pemain tersebut kelelahan. Yang lebih dipentingkan dalam pementasan seni reog adalah memberikan kepuasan kepada penontonnya.

Adegan terakhir adalah singa barong, dimana pelaku memakai topeng berbentuk kepala singa dengan mahkota yang terbuat dari bulu burung merak. Berat topeng ini bisa mencapai 50-60 kg. Topeng yang berat ini dibawa oleh penarinya dengan gigi. Kemampuan untuk membawakan topeng ini selain diperoleh dengan latihan yang berat, juga dipercaya diproleh dengan latihan spiritual seperti puasatapa. dan

Kontroversi

Tarian Reog Ponorogo yang ditarikan di Malaysia dinamakan Tari Barongan[5]. Deskripsi akan tarian ini ditampilkan dalam situs resmi Kementrian Kebudayaan Kesenian dan Warisan Malaysia. Tarian ini juga menggunakan topeng dadak merak, topeng berkepala harimau yang di atasnya terdapat bulu-bulu merak, yang merupakan asli buatan pengrajin Ponorogo [6]. Permasalahan lainnya yang timbul adalah ketika ditarikan, pada reog ini ditempelkan tulisan "Malaysia" [7] dan diaku menjadi warisan Melayu dari Batu Pahat Johor dan Selangor Malaysia - dan hal ini sedang diteliti lebih lanjut oleh pemerintah Indonesia. [8]. Hal ini memicu protes dari berbagai pihak di Indonesia, termasuk seniman Reog asal Ponorogo yang berkata bahwa hak cipta kesenian Reog dicatatkan dengan nomor 026377 tertanggal 11 Februari 2004 dan diketahui langsung oleh Menteri Hukum dan HAM Republik Indonesia [8]. Ribuan Seniman Reog pun menggelar demo di depan Kedutaan Malaysia [9]. Berlawanan dengan foto yang dicantumkan di situs kebudayaan, dimana dadak merak dari versi Reog Ponorogo ditarikan dengan tulisan "Malaysia" [10], Duta Besar Malaysia untuk Indonesia Datuk Zainal Abidin Muhammad Zain pada akhir November 2007 kemudian menyatakan bahwa "Pemerintah Malaysia tidak pernah mengklaim Reog Ponorogo sebagai budaya asli negara itu. Reog yang disebut “barongan” di Malaysia dapat dijumpai di Johor dan Selangor karena dibawa oleh rakyat Jawa yang merantau ke negeri jiran tersebut [11].

Catatan dan referensi

  1. ^ (en) Ian Douglas Wilson: Reog Ponorogo Spirituality, Sexuality, and Power in a Javanese Performance Tradition
  2. ^ (id) Reog di Jawa Timur, Departmen Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta, 1978-9
  3. ^ (id) Herman Joseph Wibowo. Drama Tradisional Reog: Suatu Kajian Sistem Pengetahuan Dan Religi,' in Laporan Penelitian JARAHNITRA, Balai Kajian Sejarah Dan Nilai Tradisional Yogyakarta, 1995-6, pp. 1-59, dan kaset video no 24, 14/7/1991, arsip video milik Josko Petkovic.
  4. ^ (en) Blog Parvita: Reog Ponorogo pindah ke Malaysia?
  5. ^ Situs Resmi Kementrian Kebudayaan Kesenian dan Warisan Malaysia
  6. ^ (id) Reog Malaysia produk Ponorogo
  7. ^ (id) Media Indonesia: Soal Reog Bupati Ponorogo akan 'Lawan' Malaysia
  8. ^ a b (id) Detik.com: Mirip Tari Reog Pemerintah Indonesia akan teliti Tari Barongan Malaysia
  9. ^ (id) Ribuan Seniman Reog Demo di Kedutaan Malaysia
  10. ^ (my)Situs Resmi Kementrian Kebudayaan Kesenian dan Warisan Malaysia
  11. ^ (id) Sinar Harapan

Senin, 04 Februari 2008

Festival Bunaken 2007 Menjadi Ajang Persiapan Manado Menyambut World Ocean Conference 2009

19-09-2007

Berbeda pada tahun sebelumnya, penyelenggaraan Festival Bunaken 2007 yang berlangsung 15-24 September di Manado, Sulawesi Utara, terlihat lebih meningkat kualitasnya baik dari aspek manajemen penyelenggaraan maupun kualitas materi yang disajikan.
Manado, yang ditetapkan sebagai tuan rumah "World Ocean Conference -World Ocean Summit" tahun 2009, menjadikan Festival Bunaken 2007 sebagai ajang persiapan dalam menyambut konferensi akbar tingkat dunia tersebut.

Festival Bunaken yang digelar setiap tahun dalam rangka menyambut hari ulang tahun Provinsi Sulawesi Utara, tahun 2007 merupakan HUT ke-43, menyajikan berbagai pertunjukan seni budaya daerah serta aktraksi wisata di antaranya sea carnaval di Pulau Bunaken. Festival yang masuk dalam calendar of event dan peta event pariwisata internasional ini banyak diminati masyarakat termasuk wisatawan domestik dan mancanegara.

Pada Festival Bunaken 2007 kali ini juga digelar Parade Pakaian Tradisional Nusantara hasil sinergi program antara Departemen Kebudayaan dan Pariwisata (Depbudpar) bersama Pemerintah Provinsi Sulawesi Utara (Sulut). Dalam Parade Pakaian Tradisional Nusantara tersebut selain ditampilkan pakaian etnik dari sejumlah daerah Kabupaten di Sulut , beberapa provinsi di Indonesia seperti Aceh, Gorontalo, dan Kalimantan, juga ditampilkan pakaian dari mancanegara antara lain India, Cina, Arab, Filipina, serta Malaysia.

Sekjen Depbudpar DR.Sapta Nirwandar dalam sambutannya mengatakan, Festival Bunaken yang merupakan kebanggaan masyarakat Sulut dan sudah masuk dalam calendar of event nasional , yang berarti telah masuk dalam peta event pariwisata internasional, merupakan wahana untuk mempromosikan Sulawesi Utara. "Melalui keunggulan seni budaya daerah dan keindahan alam yang ditampilkan dalam festival ini, diharapkan akan semakin menggairahkan dunia kepariwisataan yang pada gilirannya dapat memacu meningkatnya perekonomian Sulawesi Utara," kata DR.Sapta Nirwandar, ketika membuka Festival Banaken 2007 di Manado, Sabtu (15/8).

Dikatakan, sebagai bangsa yang memiliki keragaman warisan budaya dan tradisi, serta kaya akan potensi sumber daya alam yang indah mengagumkan, kita patut berbangga karena keberagaman dan kekayaan tersebut adalah aset yang tidak ternilai harganya dan menjadi unsur bagi perekat Cinta Tanah Air dalam tatanan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Gubernur Sulawesi Utara Sinyo.H.Sarundajang menyatakan, Manado dalam visinya ke depan ingin menjadi sebagai kota pariwisata dunia pada tahun 2010. Untuk menuju ke sana, Manado telah dipercaya menjadi tuan rumah penyelenggaraan World Ocean Conference "World Ocean Summit tahun 2009.

kebudayaan masyarakat Irian Jaya

Mengenai kebudayaan penduduk atau kultur masyarakat di Irian Barat dapat dikatakan beraneka ragam, beberapa suku mempunyai kebudayaan yang cukup tinggi dan mengagumkan yaitu suku-suku di Pantai Selatan Irian yang kini lebih dikenal dengan suku "ASMAT" kelompok suku ini terkenal karena memiliki kehebatan dari segi ukir dan tari. Budaya penduduk Irian yang beraneka ragam itu dapat ditandai oleh jumlah bahasa lokal khususnya di Irian Barat. Berdasarkan hasil penelitian dari suami-isteri Barr dari Summer Institute of Linguistics (SIL) pada tahun 1978 ada 224 bahasa lokal di Irian Barat, dimana jumlah itu akan terus meningkat mengingat penelitian ini masih terus dilakukan. Bahasa di Irian Barat digolongkan kedalam kelompok bahasa Melanesia dan diklasifikasikan dalam 31 kelompok bahasa yaitu:
Tobati, Kuime, Sewan, Kauwerawet, Pauwi, Ambai, Turu, Wondama, Roon, Hatam, Arfak, Karon, Kapaur, Waoisiran, Mimika, Kapauku, Moni, Ingkipulu, Pesechem, Teliformin, Awin, Mandobo, Auyu, Sohur, Boazi, Klader, Komoron, Jap, Marind-Anim, Jenan, dan Serki. Jumlah pemakai bahasa tersebut diatas sangat bervariasi mulai dari puluhan orang sampai puluhan ribu orang.

Secara tradisional, tipe pemukiman masyarakat Irian Barat dapat dibagi kedalam 4 kelompok dimana setiap tipe mempunyai corak kehidupan sosial ekonomi dan budaya tersendiri.

  1. Penduduk pesisir pantai;
    Penduduk ini mata pencaharian utama sebagai Nelayan disamping berkebun dan meramu sagu yang disesuaikan dengan lingkungan pemukiman itu. Komunikasi dengan kota dan masyarakat luar sudah tidak asing bagi mereka.

  2. Penduduk pedalaman yang mendiami dataran rendah;
    Mereka termasuk peramu sagu, berkebun, menangkap ikan disungai, berburu dihuta disekeliling lingkungannya. Mereka senang mengembara dalam kelompok kecil. Mereka ada yang mendiami tanah kering dan ada yang mendiami rawa dan payau serta sepanjang aliran sungai. Adat Istiadat mereka ketat dan selalu mencurigai pendatang baru.

  3. Penduduk pegunungan yang mendiami lembah;
    Mereka bercocok tanam, dan memelihara babi sebagai ternak utama, kadang kala mereka berburu dan memetik hasil dari hutan. Pola pemukimannya tetap secara berkelompok, dengan penampilan yang ramah bila dibandingkan dengan penduduk tipe kedua (2). Adat istiadat dijalankan secara ketat dengan "Pesta Babi" sebagai simbolnya. Ketat dalam memegang dan menepati janji. Pembalasan dendam merupakan suatu tindakan heroisme dalam mencari keseimbangan sosial melalui "Perang Suku" yang dapat diibaratkan sebagai pertandingan atau kompetisi. Sifat curiga tehadap orang asing ada tetapi tidak seketat penduduk tipe 2 (kedua).

  4. Penduduk pegunungan yang mendiami lereng-lereng gunung;
    Melihat kepada tempat pemukimannya yang tetap di lereng-lereng gunung, memberi kesan bahwa mereka ini menempati tempat yang strategis terhadap jangkauan musuh dimana sedini mungkin selalu mendeteksi setiap makhluk hidup yang mendekati pemukimannya. Adat istiadat mereka sangat ketat, sebagian masih "KANIBAL" hingga kini, dan bunuh diri merupakan tindakan terpuji bila melanggar adat karena akan menghindarkan bencana dari seluruh kelompok masyarakatnya. Perang suku merupakan aktivitas untuk pencari keseimbangan sosial, dan curiga pada orang asing cukup tinggi juga.

Dalam berbagai kebudayaan dari penduduk Irian ada suatu gerakan kebatinan yang dengan suatu istilah populer sering disebut cargo cults. Ada suatu peristiwa gerakan cargo yang paling tua di Irian Jaya pada tahun 1861 dan terjadi di Biak yang bernama "KORERI". Peristiwa atau gerakan cargo terakhir itu pada tahun 1959 sampai tahun 1962 di Gakokebo-Enarotali (kabupaten Paniai) yang disebut " WERE/WEGE" sebagaimana telah dikemukakan bahwa gerakan ini yang semula bermotif politik.

Karapan Sapi - Kebudayaan Madura

Karapan sapi merupakan istilah untuk menyebut perlombaan pacuan sapi yang berasal dari Pulau Madura, Jawa Timur. Pada perlombaan ini, sepasang sapi yang menarik semacam kereta dari kayu (tempat joki berdiri dan mengendalikan pasangan sapi tersebut) dipacu dalam lomba adu cepat melawan pasangan-pasangan sapi lain. Trek pacuan tersebut biasanya sekitar 100 meter dan lomba pacuan dapat berlangsung sekitar sepuluh sampai lima belas detik. Beberapa kota di Madura menyelenggarakan karapan sapi pada bulan Agustus dan September setiap tahun, dengan pertandingan final pada akhir September atau Oktober di kota Pamekasan untuk memperebutkan Piala Bergilir Presiden.

Kerapan sapi didahului dengan mengarak pasangan-pasangan sapi mengelilingi arena pacuan dengan diiringi gamelan Madura yang dinamakan saronen. Babak pertama adalah penentuan kelompok menang dan kelompok kalah. Babak kedua adalah penentuan juara kelompok kalah, sedang babak ketiga adalah penentuan juara kelompok menang. Piala Bergilir Presiden hanya diberikan pada juara kelompok menang.

Tana Toraja, Sulawesi Selatan-Tanah Kerajaan Surga

Tana Toraja, Sulawesi Selatan-Tanah Kerajaan Surga


Perjalanan dari Makasar atau Ujung Pandang ke Toraja dengan melewati jalur pesisir sepanjang 130 km mendaki pegunungan. Setelah memasuki Tana Toraja, anda mulai memasuki pamandangan alam yang penuh dengan keagungan.

Batu grafit dan batuan lainnya, serta birunya pegunungan di kejauhan setelah melewati pasar Desa Mebali akan terlihat masyarakat yang sedang beternak domba sehingga pemandangan terlihat kontras dengan padang rumput yang hijau subur, limpahan makanan di tanah tropis yang indah. Ini adalah Tana Toraja, salah satu tempat wisata terbaik di Indonesia.

Tana Toraja memiliki kekhasan dan keunikan dalam tradisi upacara pemakaman yang biasa disebut Rambu Tuka. Di Tana Toraja mayat tidak di kubur melainkan diletakan di Tongkanan untuk beberapa waktu. Jangka waktu peletakan ini bisa lebih dari 10 tahun sampai keluarganya memiliki cukup uang untuk melaksanakan upacara yang pantas bagi si mayit. Setelah upacara, mayatnya dibawa ke peristirahatan terakhir di dalam Goa atau dinding gunung.

Tengkorak-tengkorak itu menunjukan pada kita bahwa mayat itu tidak dikuburkan tapi hanya diletakan di batuan, atau dibawahnya, atau di dalam lubang. Biasanya. musim festival pemakaman dimulai ketika padi terakhir telah dipanen. Biasanya akhir Juni atau Juli, dan paling lambat bulan September.

Menuju Kesana

Perjalanan Udara : Dimulai dari lapangan terbang Hassanudin. Makasar atau Ujung Pandang, Proses ke Tana Toraja melalui lapangan terbang Rantepao didekat Makle, 24 Km arah selatan dari Rantepao dan dari sana akan ada layanan bus ke kota.

Perjalanan Darat : bus ke Rantepao ke Ujung Pandang tiap harinya memakan waktu perjalanan selama kurang lebih 8 jam termasuk istirahat untuk makan. Tiket harus dibeli di kota, tapi berangkat dari terminal Bus Panaikan.20 menit keluar dari kota dengan menggunakan Bemo. Bus ini biasanya pergi pada pagi hari ( jam 7 pagi) Siang Hari ( jam 1 siang) dan pada malam hari (jam 7 malam). Beberapa perkumpulan di Rantepao kembali ke Ujung Pandang lagi. Basanya bus yang berangkat disesuaikan dengan jumlah penumpang.

Tempat Tinggal


Wisatawan yang ingin tinggal di tengah kota memiliki banyak pilihan hotel. Tapi jika memiliki jiwa petualang, anda bisa tidur di desa bersama masyarakat sekitar.

Mengunjungi Tempat Lain

Bemo adalah cara terbaik untuk mengetahui daerah sekitar. Selain jenis yang lain (bus kecil atau jeep) dengan atau tanpa supir. Jika anda telah di desa anda bisa berjalan kaki untuk mengelilingi semua.

Hal Lain Yang Dapat Dilihat Dan Dilakukan

Menjelajahi pasar. Anda jangan sampai ketinggalan untuk mengunjungi pasar tradisional. Disini anda akan menemukan biji kopi khas Toraja (seperti Robusta dan Arabica) dan beberapa barang khas lainnya seperti buah-buahan (Tamarella atau Terong Belanda dan ikan mas).

Mengunjungi batu Tomonga artinya dalah batu yang mengarah ke awan. Dari tempat ini kita bisa melihat banyaknya batuan vulkanik yang bermunculan dari hamparan sawah. Dan beberapa batu raksasa yang menjadi Goa. Benar-benar pemandangan yang indah dan menjadikan Tana Toraja terlihat subur dan hijau.

Mengunjungi Palawa. Palawaadalah tempat yang bagus untuk dikunjungi. Dimana ada sebuah Tongkonan atau kawasan penguburan tempat untuk melakukan upacara dan festival.

Lakukan perjalanan dari Rantepao ke Kete. Desa tradisional dengan kerajinan tangan yang bagus. Di belakang desa di bagian bukit ada goa yang ukuranya sudah lebih tua dari ukuran orang hidup.

Tempat Makan

Kebanyakan anda dapat menemukan warung makan dilokasi ini, di sepanjang jalan. Anda juga dapat membawa makanan sendiri.

Tips Oleh-Oleh

Disana ada toko cinderamata dimana anda dapat membeli segala sesuatu yang khas dari Tana Toraja, ada pakaian, tas, dompet, dan kerajinan tangan lainnya.

Tips Melakukan Perjalanan


  • Pengunjung diperbolehkan mengunakan pakaian adat setempat dan akan diberikan hadiah seperti rokok atau kopi kapan pun memasuki Tongkonan
  • Jalanan tidak selalu aspal. Sering dilewati Jeep dan lainnya. Walaupun cuaca bagus. Jadi berhati-hatilah
  • Hati-hati dengan kepala anda ketika memasuki Tongkonan, rumah khas Toraja
  • Enrekang, Makale, dn tanah tinggi Toraja terbuat dari pecahan batu Vulkanik. Berhenti sebentar dan ambil foto disana. Atau anda akan menyesal.

Toraja Fiesta






Kearifan Lokal Tana Toraja

SEJUMLAH bocah laki-laki berkostum bahan tenun bergaris-garis merah menggerak-gerakkan sepotong bambu di tangan kanan mereka. Sembari bergerak lincah, mereka mengarahkan rombongan tamu ke panggung utama yang berada di tengah lapangan pasar seni Rantepao, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan.

SUARA tetabuhan yang membahana, tarian yang lincah memeriahkan pembukaan "Toraja Fiesta" yang berlangsung pada tanggal 28-29 Desember 2004. Upacara menyambut tamu, yakni rombongan Menteri Negara Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik, adalah salah satu bagian dari upacara Rambu Tuka’, upacara kegembiraan yang dimiliki masyarakat Tana Toraja.

Pesta Toraja tersebut digelar berkaitan dengan telah masuknya Tana Toraja dalam daftar sementara warisan budaya dunia (inscription world heritage list) C1038 Unesco. Usulan pertama tahun 2000 baru sebatas satu situs, perkampungan Kete Kesu di Kecamatan Sanggalangi. Namun, dalam kunjungan tim Unesco ke Tana Toraja tahun 2002 direkomendasikan agar nominasi Tana Toraja dikembangkan menjadi Serial Nomination, yakni usulan yang terdiri dari beberapa situs dalam satu kawasan.

Atas dasar kesepakatan bersama, maka diputuskan penambahan delapan situs baru, selain situs Kete Kesu, yaitu Pallawa, Bori Parinding, Kandeapi, Rante Karrasik, Buntupune, Pala Tokke, Londa, dan Lemo. Karena nominasi itulah, masyarakat Tana Toraja patut berbangga dan merayakannya dengan upacara Rambu Tuka’.

SUKU Toraja sebelum datangnya agama Kristen dan Islam telah menganut agama nenek moyangnya yang disebut Aluk Todolo, yang diyakini sama tuanya dengan nenek moyang manusia pertama yang disebut Datu La Ukku. Keturunan Datu La Ukku inilah yang pertama kali diutus ke bumi. Salah satu keturunannya yang bernama Pong Mula Tau yang turun dari langit (To Manurun Di Langi’) membawa ajaran untuk mengadakan pemujaan/ persembahan kepada Puang Matua (Tuhan).

E Bernard M dari Dinas Pariwisata Seni dan Budaya Kabupaten Tana Toraja menjelaskan, Aluk Todolo inilah yang mendasari sendi-sendi kehidupan masyarakat Toraja, termasuk adat istiadatnya. Sekalipun ada pengaruh Kristen dan Islam, Aluk Todolo percaya kepada tiga kekuatan yang wajib disembah, yaitu Puang Matua (Tuhan), unsur kekuatan tertinggi sebagai pencipta bumi, langit, dan segala isinya; Deata-deata (penguasa dan pemelihara bumi); serta To Membali Puang (arwah para leluhur yang telah menjelma menjadi dewa).

Ketiga unsur tersebut merupakan kekuatan gaib yang dipercayai oleh manusia. Suku Toraja pun memberikan persembahan sesajian dan kurban- kurban yang terdiri dari kerbau, babi, ayam, dan sejenisnya, dan dilakukan secara terpisah dalam waktu yang berbeda dengan cara yang berbeda pula: Puang Matua yang bersemayam di langit dipuja dan disembah dengan upacara di depan rumah Tongkonan, Deata disembah di sebelah timur rumah, To Membali Puang di sebelah barat rumah atau di liang kubur di mana jenazahnya dikubur.

Ajaran dari warisan nenek moyang orang Toraja inilah yang membentuk pola tingkah laku orang Toraja sebagai sumber keseluruhan unsur kebudayaan yang tampak dalam fenomena sosial sampai sekarang.

Anggapan tentang alam raya dikenal adanya klasifikasi timur-barat dan utara-selatan. Timur adalah matallo, yakni tempat terbitnya matahari yang dianggap sebagai kualitas mewakili kebahagiaan, terang, kesukaan, dan sumber kehidupan. Barat (matampu’), tempat terbenamnya matahari mewakili unsur gelap, kedukaan. Klasifikasi timur-barat membawa konsekuensi dalam kehidupan yang menyangkut tata pelaksanaan upacara.

Kehidupan masyarakat Toraja tak lepas dari upacara. Setiap fase kehidupan selalu dibarengi dengan upacara. Sama halnya dalam hidup ini tidak luput dari masalah suka-duka, terang dan gelap. Dalam sistem upacaranya dikenal dengan nama Rambu Tuka’ (upacara kegembiraan) dan Rambu Solo’ (upacara kedukaan). Waktu pelaksanaan, tempat, dan pejabat yang bertugas dalam dua perangkat upacara sudah terbagi secara tajam. Contohnya, pejabat Rambu Tuka’ tidak boleh bertugas untuk Rambu Solo’.

Utara-selatan. Utara adalah yang paling utama yang disebut ulunna lino (kepala bumi) dan selatan disebut pollo’na (bawahnya bumi). Utara mewakili anggapan seperti kepala, atasan, depan, orang-orang yang dihormati yang diidentifikasi sebagai tersuci dan terhormat. Sedangkan selatan diidentifikasi dengan bawahan, kaki, pengikut.

Model rumah adat Tongkonan dengan segala aturannya mengikuti model tersebut. Dalam kegiatan upacara, tongkonan menjadi pusat lintang timur-barat, utara-selatan. Upacara Rambu Tuka’ diselenggarakan di sebelah timur tongkonan pada waktu matahari mulai naik, sedangkan Rambu Solo’ diselenggarakan di sebelah barat pada waktu matahari mulai terbenam. Upacara penyembahan kepada Puang Matua dilakukan di depan rumah (utara).

Rambu Tuka’ ini adalah upacara keselamatan dari empat persekutuan hidup, yakni Aluk Ma’lolo, upacara untuk kehidupan dan keselamatan manusia; Aluk Patuoan, upacara untuk keselamatan dan kehidupan hewan ternak dan binatang-binatang; Aluk Tanaman, upacara untuk keselamatan tanaman serta tempat tumbuhnya tanaman-tanaman; dan Aluk Bangunan Banua, upacara untuk keselamatan pembangunan rumah dan penempatan rumah oleh empunya.

Tak terlalu banyak orang tahu bahwa masyarakat Toraja memiliki upacara Rambu Tuka’ karena selama ini yang lebih banyak mengedepan di media massa adalah upacara Rambu Solo’. Rambu Solo’ adalah upacara kematian dan pemakaman manusia sebagai upacara yang dilakukan dengan kurban hewan yang bisa jadi memakan biaya ratusan juta rupiah, tergantung pada strata sosial seseorang yang akan dimakamkan tersebut.

Kedua ritus upacara tersebut mengikat hidup dan kehidupan orang Toraja, dalam perkembangannya sangat susah ditinggalkan karena upacara-upacara ini adalah sarana untuk melestarikan kebudayaan dan kesenian Toraja.

TORAJA Fiesta adalah salah perwujudan Rambu Tuka’, ungkapan kegembiraan yang menyuguhkan serangkaian tarian/atraksi dari 15 kecamatan di Tana Toraja. Inilah upaya untuk membangkitkan kembali pariwisata Tana Toraja yang sempat ’mati suri’, terutama setelah peristiwa peledakan bom di Bali.

Menurut survei Dinas Pariwisata Kantor Wilayah Daerah Tana Toraja, Association of The Indonesia Tour and Travel Agencies (Asita), dan Persatuan Hotel dan Restoran (PHRI) Sulawesi Selatan, pada tahun 1979-1997 Toraja termasuk tujuan wisata paling populer di Indonesia setelah Bali. Tahun 1996, total wisatawan yang mengunjungi Toraja mencapai lebih kurang 387.000 wisatawan, dengan wisatawan terbesar dari Eropa dengan jumlah 200.600 orang, dari Kanada sebanyak 100.000 wisatawan, selebihnya dari Asia dan Amerika.

Toraja dengan kebudayaannya yang unik, dengan julukan Land of the Heavenly Kings yang mungkin tidak ditemukan di tempat lain di dunia dan masih hidup hingga sekarang, haruslah tetap dijaga dan dilestarikan.

Begitu banyak situs tua yang bisa dikunjungi, termasuk pekuburan leluhur, seperti situs makam pahat di Lemo, makam goa purba di Londa, menhir di Rante Karassik, perkampungan Kete Kesu yang begitu populer di kalangan turis karena di sana ada tongkonan, lumbung padi dan megalit di antara persawahan, serta makam aristokrat.

Berkunjung ke Rantepao- Makale, berarti kita belajar kearifan lokal Tana Toraja. Masyarakat Toraja begitu menghargai adat budaya mereka, menghargai para leluhur mereka, dengan tetap menjaga eksistensi pekuburan leluhur. Kearifan lokal itulah warisan budaya yang sangat berarti untuk kita semua. (elok dyah messwati)

Gelar Budaya Aceh IV

gita
Minggu, 6 - Mei - 2007, 18:37:08

Bandung, itb.ac.id – Sabtu malam (5/5), lapangan basket Campus Centre tampak meriah. Ada panggung yang cukup besar dan sederhana, namun gemerlap dengan sinar lampu sorot dan sebuat topi adapt ala Aceh yang cukup besar di pojok Selatan. Malam itu, Unit Kebudayaan Aceh (UKA) ITB memang tengah mengadakan “Geladr Budaya Aceh IV”, sebuah pagelaran seni yang menampilkan tarian, musik dan lagu khasi Aceh.



Cukup banyak tarian khas Aceh yang ditampilkan malam itu. Selain tarian dari mahasiswa ITB yang tergabung di UKA, ada juga penampilan dari seniman Aceh, sanggar kesenian Aceh di Bandung dan juga dari teman–teman Aceh di Jogjakarta, dari Mahasiswa Gayeo Jogja. Bukan hanya tari Saman saja. Ada banyak jenis tarian aceh yang cukup menarik. Tari Tareek pukat misalnya. Dalam tarian itu, dengan posisi duduk rapat pejajar dan gerakan yang sedemikian rupa, para penari dapat membuat jalinan jarring dan ditunjukkan kepada penonton di akhir tarian.



Selain tarian, ada juga penampilan lagu dan musik khas Aceh. Pada Gelar Budaya Aceh IV ini, panitia mengundang Rafly “Kande”, salah satu seniman Aceh yang cukup sering tampil di ajang kesenian internasional. Rafly membawakan sekitar 3 lagu dan juga mengajak penonton bernyanyi bersama. Walau dalam kebanyakan lagu hanya diiringi dengan gitar, namun suaranya yang khas sangat indah untuk didengar. Keluarga PAduan Angklung(KPA) juga turut memeriahkan acara ini. KPA berkolaborasi dengan seniman Aceh membawakan lagu Bungo Jeumpa.



Gelar Budaya Aceh sebelumnya diadakan 4 tahun yang lalu. “Tsunami 2004 lalu membuat kami lebih focus ke situ. Kami mengadakan penyuluhan kepada adik–adik korban tsunami. Nama kegiatannya Saweu Gampong,” Hayatu Wardani(PL04), ketua acara ini menjelaskan alasan vakumnya Gelar Budaya Aceh selama 4 tahun ini. “Sekarang sedang ingin dihidupkan lagi, karena orang–orang sekarang tahunya Aceh hanya punya tari Saman saja, padahal ada banyak jenis kesenian,” lanjutnya.



Acara malam itu cukup ramai. Bukan hanya dipenuhi oleh mahasiswa ITB saja, tetapi juga masyarakat Aceh yang ada di Bandung. Panitia sendiri menujukan acara ini untuk semura orang Aceh yang ada di Jawa. Selain dapat emnikmati kesenian Aceh, di acara ini pengunjung juga dapat menikmati masakhan khas Aceh dan membeli souvenir khas Aceh .