CLICK HERE FOR THOUSANDS OF FREE BLOGGER TEMPLATES »

Minggu, 08 Juni 2008

KALIMANTAN (Borneo)

Kalimantan pulau terbesar kedua di Indonesia sesudah Irian terbagi atas empat propinsi:
Kalimantan Barat, Kalimantan Tengah, Kalimantan Selatan dan Kalimantan Timur. Ke empat propinsi ini sebagian besar daerahnya dihuni oleh sukubangsa Dayak, yang terdiri dan beberapa anak sukubangsa. Walaupun demikian di daerah-daerah pesisirnya terdapat juga beberapa sukubangsa yang berasal dan puak melayu seperti suku Banjar dan Mandar di Kalimantan Selatan serta Melayu Pontianak di Kalimantan Barat.
DAYAK
Sebagian besar orang Dayak berdiam di wilayah kalimantan Tengah, Timur, Barat, serta sebagian kecil di Kalimantan Selatan. Sukubangsa Dayak terdiri atas beberapa sub-sukubangsa, antara lain Iban, Maanyan, Ngaju, Kenyah, Lawangan, Murut, dan sebagainya.
Sistem kekerabatan orang Dayak ditarik berdasarkan prinsip patrilineal, dengan bentuk kekerabatan yang terpenting adalah keluarga luas. Sebuah keluarga luas mendiami sebuah rumah besar yang disebut betang atau balal atau lamin. Di rumah besar mi pula orang Dayak mengadakan upacara dan kegiatan keagamaan. Gabungan beberapa keluarga luas berorientasi pada satu nenek moyang yang sangat dihormati. Penghormatan terhadap roh nenek moyang berkaitan erat dengan sistem kepercayaan mereka.
Sistem kepercayaan orang Dayak, yang meliputi kepercayaan terhadap roh-roh, disebut kaharingan. Mereka percaya bahwa roh orang meninggal akan menuju ke suatu tempat yang disebut alam datu tunjung punu gamari. Agar dapat mencapai tempat itu harus diadakan upacara-upacara khusus yang dipimpin oleh walian atau belian. Selain itu ada pula pemimpin informal dalam masyarakat tersebut, misalnya pangulu, mantir, dan pembakal.
Secara keseluruhan sistem pengetahuan orang Dayak dikaitkan dengan sistem kepercayaan mereka. Pengetahuan tentang bertani, ilmu gaib, dan sebagainya selalu dikaitkan dengan kepercayaan terhadap roh-roh. Kesenian mereka umumnya dibuat untuk keperluan upacara adat dalam rangka menghormati roh nenek moyang. Upacara adat yang menonjol adalah yang berkaitan dengan roh, yaitu upacara membatur dan membuntang.
Punan
Orang Punan dianggap sebagai satu sukubangsa yang hidup berpindah-pindah di pedalaman Propinsi Kalimantan Barat sampai ke wilayah Kalimantan Timur, Tengah, dan Selatan. Di wilayah Kalimantan Barat mereka berada di sekitar hulu-hulu anak sungai Kapuas dan di wilayah bagian selatan aliran sungai Kapuas di Kabupaten Kapuas Hulu.
Anggapan lain mengatakan bahwa Punan adalah sebutan bagi orang Dayak yang hidup nomaden di pedalaman Kalimantan, terutama di sekitar daerah hulu-hulu sungai besar. Pengembaraan orang Punan berkaitan erat dengan mata pencaharian mereka yang umumnya berburu dan meramu hasil hutan. Ada anggapan bahwa orang Punan hany amau mengembara dan “bertamu” untuk sementara di wilayah sukubangsa lain yang kira-kira ada kaitan bahasa dengan mereka. Tidak heran jika ada ahli berpendapat bahwa orang Punan tidak lain "sayap", atau bagian dan sukubangsa lainnya.
Ngaju
Sukubangsa ngaju tersebar di wilayah Kalimantan Barat bagian tenggara, Kalimantan Timur bagian barat, Kalimantan Tengah bagian selatan, dan Kalimantan Selatan bagian utara. Umumnya bermukim di sepanjang sungai Kapuas Kahayan, Rungun Manuhin, Barito, dan Katingan.
Mata pencaharian pokoknya adalah bercocok tanam padi di ladang. Sebagian lagi masih sering pergi berburu dan menangkap ikan di sungai. Mereka mendirikan rumah sejajar dengan sungai, kebanyakan masih berdiam di rumah-rumah panjang, dan dihuni oleh beberapa keluarga inti yang masih bagian dan satu klen kecil. Prinsip kekerabatannya bersifat ambilineal, karena garis keturunan bukan hanya dikaitkan dengan cikal bakal pihak ayah tetapi jug a dengan pihak ibu. Bentuk perkawinan yang ideal menurut mereka adalah antara gadis dan bujang yang bersaudara sepupu derajat kedua (hajenan), yaitu sepupu dan kakek yang bersaudara.
Ot Danum
Sukubangsa Ot danum beridam di sekitar daerah aliran Sungai Melawi, Sungai Silat, dan Sungai Maetah di kabupaten Kapuas Hulu, Kalimantan Barat. Sebagian berdiam di wilayah Kalimantan Tengah, yaitu Kabupaten Kapuas Hulu. Jumlah populasinya sekitar 6.000 jiwa.
Orang Ot Danum mendirikan pemukiman dekat pinggir sungai-sungai besar. Setiap kampung paling tidak mempunyai sebuah betang (rumah panjang) yang mempunyai ruangan-ruangan untuk keluarga batih, yang banyaknya sampai sekitar lima puluh buah. Mata pencaharian utamanya adalah perladangan berpindah dengan tanaman utama padi. Mata pencaharian lain adalah mengumpulkan hasil hutan, mendulang emas, menangkap ikan, dan berburu binatang liar.
Prinsip hubungan kekerabatan orang Ot Danum bersifat ambilineal, di mana sebagian kelompok masyarakat menghitung garis keturunan dan pihak ayah dan sekelompok lain dan garis ibu. Pada zaman dulu sebuah rumah betang terbentuk dan pertumbuhan sebuah keluarga ambilineal kecil. Pada masa sekarang bentuk keluarga luas virilokal lebih banyak dikenal. Sebuah desa secara formal dipimpin oleh seorang pembekal yang bertindak sebagai pemimpin administrasi (kepala desa dan seorang penghulu) yang bertindak sebagai kepala adat. Jabatan penghulu mi sering pula dijabat rangkap oleh seorang tokoh yang kemudian bergelar patih.
Religi asli orang Ot Danum disebut juga Kaharingan, yaitu istilah yang digunakan oleh masyarakat Dayak untuk membedakan kepercayaan asli mereka dengan agama-agama dan luar. Pada masa sekarang orang Ot Danum mulai memeluk agama Kristen.
Maloh
Sukubangsa Maloh atau Embaloh mendiami daerah sekitar anak­anak sungai Kapuas, seperti disekitar sungai Ulu, Luh, Palm, Madai, Nyaubau, dan Leboyan. Daerah mereka termasuk ke dalam wilayah Kabupaten Kapuas Hulu, Propinsi Kalimantan Barat. Jumlah penduduknya sekitar 4.750 jiwa. Masyarakat mi terutama hidup dan perladangan padi secara berpindah. Sumber makanan pokok mereka lain adalah sagu. Sumber protein hewani utamanya adalah ikan yang ditangkap di sungai-sungai. Selain memelihara ternak mereka juga masih sering berburu binatang liar. Kegiatan lainnya adalah menyadap getah karet.
Kampung-kampung orang Maloh mereka sebut benua terletak di tepi sungai Setiap benua memiliki satu atau lebih sau (rumah panjang). Wilayah kampung ditandai oleh adanya uma (lahan perladangan) serta batas-batas alamiah yang diakui oleh kelompok-kelompok lain. Setiap kampung dikepalai oleh seorang samagat, biasanya dipilih turun-temurun dan golongan bangsawan. Dalam peranannya samagat mi perlu memperoleh dukungan dan dewan tetua yang mereka sebut tamatoa. Setiap keluarga batih (kajyan) mendiami bagian ruangan sau (rumah panjang) yang disebut tindoan. Prinsip hubungan kekerabatan mereka patrilineal.
Pada masa sekarang orang Maloh sudah memeluk agama Katholik atau Islam, sungguh pun begitu tradisi lama masih sering mendukung kepercayaan ash mereka. Orang Maloh yang memeluk agama Islam karena menjadi kelompok minoritas lebih suka pindah ke lingkungan masyarakat Muslim lain.

Jaipongan

Jaipongan

Jaipongan adalah sebuah genre seni tari yang lahir dari kreativitas seorang seniman asal Bandung, Gugum Gumbira. Perhatiannya pada kesenian rakyat yang salah satunya adalah Ketuk Tilu menjadikannya mengetahui dan mengenal betul perbendaharan pola-pola gerak tari tradisi yang ada pada Kliningan/Bajidoran atau Ketuk Tilu. Gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid dari beberapa kesenian di atas cukup memiliki inspirasi untuk mengembangkan tari atau kesenian yang kini dikenal dengan nama Jaipongan.

[sunting] Sejarah
Sebelum bentuk seni pertunjukan ini muncul, ada beberapa pengaruh yang melatarbelakangi bentuk tari pergaulan ini. Di
Jawa Barat misalnya, tari pergaulan merupakan pengaruh dari Ball Room, yang biasanya dalam pertunjukan tari-tari pergaulan tak lepas dari keberadaan ronggeng dan pamogoran. Ronggeng dalam tari pergaulan tidak lagi berfungsi untuk kegiatan upacara, tetapi untuk hiburan atau cara gaul. Keberadaan ronggeng dalam seni pertunjukan memiliki daya tarik yang mengundang simpati kaum pamogoran. Misalnya pada tari Ketuk Tilu yang begitu dikenal oleh masyarakat Sunda, diperkirakan kesenian ini populer sekitar tahun 1916. Sebagai seni pertunjukan rakyat, kesenian ini hanya didukung oleh unsur-unsur sederhana, seperti waditra yang meliputi rebab, kendang, dua buah kulanter, tiga buah ketuk, dan gong. Demikian pula dengan gerak-gerak tarinya yang tidak memiliki pola gerak yang baku, kostum penari yang sederhana sebagai cerminan kerakyatan.
Seiring dengan memudarnya jenis kesenian di atas, mantan pamogoran (penonton yang berperan aktif dalam seni pertunjukan Ketuk Tilu/
Doger/Tayub) beralih perhatiannya pada seni pertunjukan Kliningan, yang di daerah Pantai Utara Jawa Barat (Karawang, Bekasi, Purwakarta, Indramayu, dan Subang) dikenal dengan sebutan Kliningan Bajidoran yang pola tarinya maupun peristiwa pertunjukannya mempunyai kemiripan dengan kesenian sebelumnya (Ketuk Tilu/Doger/Tayub). Dalam pada itu, eksistensi tari-tarian dalam Topeng Banjet cukup digemari, khususnya di Karawang, di mana beberapa pola gerak Bajidoran diambil dari tarian dalam Topeng Banjet ini. Secara koreografis tarian itu masih menampakan pola-pola tradisi (Ketuk Tilu) yang mengandung unsur gerak-gerak bukaan, pencugan, nibakeun dan beberapa ragam gerak mincid yang pada gilirannya menjadi dasar penciptaan tari Jaipongan. Beberapa gerak-gerak dasar tari Jaipongan selain dari Ketuk Tilu, Ibing Bajidor serta Topeng Banjet adalah Tayuban dan Pencak Silat.
Kemunculan tarian karya Gugum Gumbira pada awalnya disebut Ketuk Tilu perkembangan, yang memang karena dasar tarian itu merupakan pengembangan dari Ketuk Tilu. Karya pertama Gugum Gumbira masih sangat kental dengan warna ibing Ketuk Tilu, baik dari segi koreografi maupun iringannya, yang kemudian tarian itu menjadi populer dengan sebutan Jaipongan.

[sunting] Berkembang
Karya Jaipongan pertama yang mulai dikenal oleh masyarakat adalah tari "Daun Pulus Keser Bojong" dan "Rendeng Bojong" yang keduanya merupakan jenis tari putri dan tari berpasangan (putra dan putri). Dari tarian itu muncul beberapa nama penari Jaipongan yang handal seperti
Tati Saleh, Yeti Mamat, Eli Somali, dan Pepen Dedi Kurniadi. Awal kemunculan tarian tersebut sempat menjadi perbincangan, yang isu sentralnya adalah gerakan yang erotis dan vulgar. Namun dari ekspos beberapa media cetak, nama Gugum Gumbira mulai dikenal masyarakat, apalagi setelah tari Jaipongan pada tahun 1980 dipentaskan di TVRI stasiun pusat Jakarta. Dampak dari kepopuleran tersebut lebih meningkatkan frekuensi pertunjukan, baik di media televisi, hajatan maupun perayaan-perayaan yang diselenggarakan oleh pihak swasta dan pemerintah.
Kehadiran Jaipongan memberikan kontribusi yang cukup besar terhadap para penggiat seni tari untuk lebih aktif lagi menggali jenis tarian rakyat yang sebelumnya kurang perhatian. Dengan munculnya tari Jaipongan, dimanfaatkan oleh para penggiat seni tari untuk menyelenggarakan kursus-kursus tari Jaipongan, dimanfaatkan pula oleh pengusaha pub-pub malam sebagai pemikat tamu undangan, dimana perkembangan lebih lanjut peluang usaha semacam ini dibentuk oleh para penggiat tari sebagai usaha pemberdayaan ekonomi dengan nama Sanggar Tari atau grup-grup di beberapa daerah wilayah Jawa Barat, misalnya di Subang dengan Jaipongan gaya "kaleran" (utara).
Ciri khas Jaipongan gaya kaleran, yakni keceriaan, erotis, humoris, semangat, spontanitas, dan kesederhanaan (alami, apa adanya). Hal itu tercermin dalam pola penyajian tari pada pertunjukannya, ada yang diberi pola (Ibing Pola) seperti pada seni Jaipongan yang ada di Bandung, juga ada pula tarian yang tidak dipola (Ibing Saka), misalnya pada seni Jaipongan Subang dan Karawang. Istilah ini dapat kita temui pada Jaipongan gaya kaleran, terutama di daerah Subang. Dalam penyajiannya, Jaipongan gaya kaleran ini, sebagai berikut: 1) Tatalu; 2) Kembang Gadung; 3) Buah Kawung Gopar; 4) Tari Pembukaan (Ibing Pola), biasanya dibawakan oleh penari tunggal atau Sinden Tatandakan (serang sinden tapi tidak bisa nyanyi melainkan menarikan lagu sinden/juru kawih); 5) Jeblokan dan Jabanan, merupakan bagian pertunjukan ketika para penonton (bajidor) sawer uang (jabanan) sambil salam tempel. Istilah jeblokan diartikan sebagai pasangan yang menetap antara sinden dan penonton (bajidor).
Perkembangan selanjutnya tari Jaipongan terjadi pada taahun
1980-1990-an, di mana Gugum Gumbira menciptakan tari lainnya seperti Toka-toka, Setra Sari, Sonteng, Pencug, Kuntul Mangut, Iring-iring Daun Puring, Rawayan, dan Tari Kawung Anten. Dari tarian-tarian tersebut muncul beberapa penari Jaipongan yang handal antara lain Iceu Effendi, Yumiati Mandiri, Miming Mintarsih, Nani, Erna, Mira Tejaningrum, Ine Dinar, Ega, Nuni, Cepy, Agah, Aa Suryabrata, dan Asep.
Dewasa ini tari Jaipongan boleh disebut sebagai salah satu identitas keseniaan Jawa Barat, hal ini nampak pada beberapa acara-acara penting yang berkenaan dengan tamu dari negara asing yang datang ke Jawa Barat, maka disambut dengan pertunjukan tari Jaipongan. Demikian pula dengan misi-misi kesenian ke manca negara senantiasa dilengkapi dengan tari Jaipongan. Tari Jaipongan banyak mempengaruhi kesenian-kesenian lain yang ada di masyarakat Jawa Barat, baik pada seni pertunjukan wayang, degung, genjring/terbangan, kacapi jaipong, dan hampir semua pertunjukan rakyat maupun pada musik dangdut modern yang dikolaborasikan dengan Jaipong menjadi kesenian Pong-Dut.Jaipongan yang telah diplopori oleh Mr. Nur & Leni

Rendang
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.



Rendang
Rendang daging adalah masakan tradisional bersantan dengan
daging sapi sebagai bahan utamanya. Masakan khas dari Sumatera Barat, Indonesia ini sangat digemari di semua kalangan masyarakat baik itu di Indonesia sendiri ataupun di luar negeri.
Selain daging sapi, rendang juga menggunakan
kelapa(karambia), dan campuran dari berbagai bumbu khas Indonesia di antaranya Cabai (lado), lengkuas, serai, bawang dan aneka bumbu lainnya yang biasanya disebut sebagai (Pemasak).
Rendang memiliki posisi terhormat dalam budaya masyarakat
Minangkabau. Rendang memiliki filosofi tersendiri bagi masyarakat Minang Sumatra Barat yaitu musyawarah, yang berangkat dari 4 bahan pokok, yaitu:
Dagiang (Daging Sapi), merupakan lambang dari
Niniak Mamak (para pemmpin Suku adat)
Karambia (Kelapa), merupakan lambang
Cadiak Pandai (Kaum Intelektual)
Lado (Sabai), merupakan lambang
Alim Ulama yang pedas, tegas untuk mengajarkan syarak (agama)
Pemasak (Bumbu), merupakan lambang dari keseluruhan masyarakat Minang.

Sasando

Sasando

Sasando adalah sebuah alat instrumen petik musik. Instumen musik ini berasal dari pulau Rote, Nusa Tenggara Timur.
Bentuk sasando ada miripnya dengan instrumen petik lainnya seperti
gitar, biola dan kecapi.
Bagian utama sasando berbentuk tabung panjang yang biasa terbuat dari bambu. Lalu pada bagian tengah, melingkar dari atas ke bawah diberi ganjalan-ganjalan di mana
senar-senar (dawai-dawai) yang direntangkan di tabung, dari atas ke bawah bertumpu. Ganjalan-ganjalan ini memberikan nada yang berbeda-beda kepada setiap petikan senar. Lalu tabung sasando ini ditaruh dalam sebuah wadah yang terbuat dari semacam anyaman daun lontar yang dibuat seperti kipas. Wadah ini merupakan tempat resonansi sasando.

Pura Paku Alaman
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.



Puro Paku Alaman adalah bekas Istana kecil Kadipaten Paku Alaman. Istana ini menjadi tempat tinggal resmi para Pangeran Paku Alam mulai tahun 1813 sampai dengan tahun 1950, ketika pemerintah Negara Bagian Republik Indonesia menjadikan Kadipaten Paku Alaman (bersama-sama Kesultanan Yogyakarta) sebagai sebuah daerah berotonomi khusus setingkat provinsi yang bernama Daerah Istimewa Yogyakarta.

Arsitektur dan Tata ruang
Istana Paku Alaman ini adalah sebuah istana kecil jika dibandingkan dengan
Keraton Yogyakarta. Ini menunjukkan kedudukan Kadipaten yang walaupun sebagai negara berdaulat sendiri di luar Kesultanan Yogyakarta namun tetap setingkat di bawahnya. Istana ini menghadap ke arah selatan (sekarang jalan Sultan Agung). Di depannya juga terdapat sebuah tanah lapang kecil, Alun-alun Paku Alaman. Masjid besar Paku Alaman terdapat di sebelah barat daya istana. Arsitektur masjid mirip dengan masjid raya kesultanan namun dalam skala lebih kecil dan sederhana. Di dalamnya juga terdapat mimbar dan maksura, tempat ibadah Pangeran Paku Alam, seperti di masjid raya kesultanan.
Arsitek istana Paku Alaman tidak diketahui lagi, begitu pula dengan bagian-bagian dalam istana ini. Hal ini dikarenakan Puro Paku Alaman masih menjadi tempat kediaman resmi Sri Paduka
Paku Alam IX, yang juga Wakil Gubernur Prov. DIY. Bagian yang dapat dilihat adalah pendapa terdepan yang disebut dengan Bangsal Sewatama. Seadngkan bagian yang terbuka untuk umum hanyalah Museum Paku Alaman. Istana ini diapit oleh jalan umum di sisi utara(Jl. Purwanggan), timur (Jl. Harjono), dan selatan (Jl. Sewandanan). Gerbang istana Paku Alaman terdapat di sisi selatan (gerbang utama) dan sisi utara (sudah ditutup, namun masih ada bekas-bekasnya). Konon dulu Istana ini juga dikelilingi benteng baluwarti yang tidak beranjungan. Konon tembok tebal sepanjang 20 m di sisi utara jalan Sultan Agung sebelah timur pertigaan dengan jalan Jagalan dipercaya sebagai bekas baluwarti. Gerbangnya konon terdapat di ujung selatan jalan Gajah Mada.

Warisan Paku Alaman
Warisan yang dapat disaksikan oleh masyarakat umum adalah yang terdapat dalam museum Paku Alaman. Di antara koleksinya adalah terjemahan perjanjian politik sebagai dasar berdirinya Kadipaten Paku Alaman serta berbagai perjanjian politik lainnya. Selain itu terdapat beberapa pusaka kerajaan (royal heirlooms) diantaranya adalah singgasana KGPA Paku Alam I, payung kebesaran "Songsong Bharad", serta "Songsong Tunggul Naga", Senjata tombak trisula, pakaian kebesaran, serta kereta kuda yang menjadi kendaraan resmi para Pangeran Paku Alam.

Pemangku Adat
Semula Puro Paku Alaman merupakan Lembaga Istana yang mengurusi raja dan keluarga kerajaan disamping menjadi pusat pemerintahan Kadipaten Paku Alaman. Setelah Kadipaten Paku Alaman bersama-sama Kesultanan Yogyakarta diubah statusnya dari negara menjadi Daerah Istimewa setingkat Provinsi secara resmi pada 1950, Puro Paku Alaman mulai dipisahkan dari Pemerintahan Daerah Istimewa dan di-depolitisasi sehingga hanya menjadi sebuah Lembaga Pemangku Adat Jawa khususnya garis/gaya Paku Alaman Yogyakarta. Fungsi Puro Paku Alaman berubah menjadi pelindung dan penjaga identitas budaya Jawa khususnya gaya Paku Alaman Yogyakarta. Budaya Jawa gaya Paku Alaman ini kurang begitu terlihat dan berpengaruh di Yogyakarta mengingat wilayah Kadipaten Paku Alam yang kecil dan terletak jauh di pantai selatan Kabupaten Kulon Progo sekarang.
Namun demikian ada perbedaan antara Puro Paku Alaman Yogyakarta dengan Istana kerajaan-kerajaan Nusantara yang lain. Sri Paduka Paku Alam selain sebagai Yang Dipertuan Pemangku Tahta Adat /Kepala Puro Paku Alaman juga memiliki kedudukan yang khusus dalam bidang pemerintahan sebagai bentuk keistimewaan daerah Yogyakarta. Dari permulaan DIY berdiri (de facto
1946 dan de yure 1950) sampai tahun 1998 Sri Paduka Paku Alam secara otomatis diangkat sebagai Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa yang tidak terikat dengan ketentuan masa jabatan, syarat, dan cara pengangkatan Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah lainnya (UU 22/1948; UU 1/1957; Pen Pres 6/1959; UU 18/1965; UU 5/1974). Antara 1988-1998 Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa ditunjuk sebagai penjabat jabatan Gubernur/Kepala Daerah Istimewa. Setelah 1999 keturunan Sri Paduka Paku Alam tersebut yang memenuhi syarat mendapat prioritas untuk diangkat menjadi Wakil Gubernur/Wakil Kepala Daerah Istimewa (UU 22/1999; UU 32/2004). Saat ini yang menjadi Yang Dipertuan Pemangku Tahta adalah Sri Paduka Paku Alam IX

Keraton Kasepuhan
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.


KERATON KESEPUHAN CIREBON
Keraton Kasepuhan didirikan pada tahun 1529 oleh Pangeran Mas Mochammad Arifin II (cicit dari Sunan Gunung Jati) yang menggantikan tahta dari Sunan Gunung Jati pada tahun 1506, beliau bersemayam di dalem Agung Pakungwati CirebonKeraton Kasepuhan dulunya bernama Keraton Pakungwati, sedangkan Pangeran Mas Mochammad Arifin bergelar Panembahan Pakungwati I. Dan sebutan Pakungwati berasal dari nama Ratu Dewi Pakungwati binti Pangeran Cakrabuana yang menikah dengan Sunan Gunung Jati. Putri itu cantik rupawan berbudi luhur dan bertubuh kokoh serta dapat mendampingi suami, baik dalam bidang Islamiyah, pembina negara maupun sebagai pengayom yang menyayangi rakyatnya.AKhkirnya beliau pada tahun 1549 wafat dalam Mesjid Agung Sang Cipta Rasa dalam usia yang sangat tua, dari pengorbanan tersebut akhirnya nama beliau diabadikan dan dimulyakan oleh nasab Sunan Gunung Jati sebagai nama Keraton yaitu Keraton Pakungwati yang sekarang bernama Keraton Kasepuhan. Salah satu peninggalan bersejarah yang ada di Kota Cirebon adalah Keraton. Keraton sekarang ini lebih merupakan cagar budaya yang harus terus kita lestarikan karena di dalamnya terkandung nilai-nilai adi luhung yang merupakan peninggalan leluhur kita terutama pendiri Kota Cirebon . Salah satu Keraton yang ada di Kota Cirebon adalah Keraton Kasepuhan yang merupakan Keraton pertama di Cirebon. Keraton Kasepuhan berdiri dengan megah dan berada di daerah Kelurahan Kesepuhan. Di depan Keraton Kesepuhan terdapat alun-alun yang pada waktu jaman dahulu bernama Alun-alun Sangkala Buana yang merupakan tempat latihan keprajuritan yang diadakan pada hari Sabtu atau istilahnya pada waktu itu adalah Saptonan. Dan di alun-alun inilah dahulunya dilaksanakan berbagai macam hukuman terhadap setiap rakyat yang melanggar peraturan seperti hukuman cambuk. Di sebelah barat Keraton kasepuhan terdapat Masjid yang cukup megah hasil karya dari para wali yaitu, Masjid Agung Sang Cipta Rasa. Sedangkan di sebelah timur alun-alun dahulunya adalah tempat perekonomian yaitu pasar, sekarangnya adalah pasar kesepuhan yang sangat terkenal dengan pocinya. Model bentuk seperti ini yaitu Keraton yang menghadap utara dengan bangunan Masjid di sebelah barat dan pasar di sebelah timur dan alun-alun ditengahnya merupakan model-model Keraton pada waktu dahulu terutama yang terletak di daerah pesisir. Bahkan sampai sekarang model ini banyak diikuti oleh seluruh kabupaten/kota terutama di jawa yaitu di depan gedung pemerintahan terdapat alun-alun dan di sebelah baratnya terdapat masjid. Sebelum memasuki gerbang komplek Keraton Kasepuhan terdapat dua buah pendopo, di sebelah barat disebut Pancaratna yang dahulunya merupakan tempat berkumpulnya para punggawa Keraton, Lurah atau pada jaman sekarang adalah pamong praja. Sedangkan pendopo sebelah timur disebut Pancaniti yang merupakan tempat para perwira Keraton ketika diadakannya latihan keprajuritan di alun-alun. Memasuki jalan kompleks Keraton di sebelah kiri terdapat bangunan yang cukup tinggi dengan tembok bata kokoh disekelilingnya. Bangunan ini bernama Siti Inggil atau dalam bahasa cirebon sehari-harinya adalah lemah duwur yaitu tanah yang tinggi. Sesuai dengan namanya bangunan ini memang tinggi dan nampak seperti kompleks candi pada jaman Majapahit. Bangunan ini didirikan pada tahun 1529 M pada waktu jaman pemerintahan Syekh Syarif Hidayatullah (Sunan Gunung Jati).
Di pelataran depan Siti Inggil terdapat meja batu berbentuk segi empat tempat santai. Bangunan ini merupakan bangunan tambahan yang dibuat pada tahun 1800-an. Siti Inggil memiliki dua Gapura dengan motif bentar bergaya arsitek jaman majapahit. Di sebelah utara bernama Gapura Adi sedangkan di sebelah selatan bernama Gapura Banteng, dibawah Gapura Banteng ini terdapat Candra Sakala dengan tulisan Kuta Bata Tinata Banteng yang jika diartikan adalah tahun 1451 saka yang merupakan tahun pembuatannya (1451 saka = 1529 M). Tembok bagian utara komplek Siti Inggil masih asli sedangkan sebelah selatan sudah pernah mengalami pemugaran/renovasi. Di dinding tembok kompleks Siti Inggil terdapat piring-piring dan porslen-porslen yang berasal dari Eropa dan negeri Cina dengan tahun pembuatan 1745 M. Di dalam kompleks Siti Inggil terdapat 5 bangunan tanpa dinding yang memiliki nama dan fungsi tersendiri. Bangunan utama yang terletak di tengah bernama Malang Semirang dengan jumlah tiang utama 6 buah yang melambangkan rukun iman dan jika dijumlahkan keseluruhan tiangnya berjumlah 20 buah yang melambangkan 20 sifat-sifat Allah SWT. Bangunan ini merupakan tempat sultan melihat latihan keprajuritan atau melihat pelaksanaan hukuman. Bangunan di sebelah kiri bangunan utama bernama Pendawa Lima dengan jumlah tiang penyangga 5 buah yang melambangkan rukun islam. Bangunan ini tempat para pengawal pribadi sultan.Bangunan di sebelah kanan bangunan utama bernama Semar Tinandu dengan 2 buah tiang yang melambangkan Dua Kalimat Syahadat. Bangunan ini adalah tempat penasehat Sultan/Penghulu. Di belakang bangunan utama bernama Mande Pangiring yang merupakan tempat para pengiring Sultan, sedangkan bangunan disebelah mande pangiring adalah Mande Karasemen, tempat ini merupakan tempat pengiring tetabuhan/gamelan. Di bangunan inilah sampai sekarang masih digunakan untuk membunyikan Gamelan Sekaten (Gong Sekati), gamelan ini hanya dibunyikan 2 kali dalam setahun yaitu pada saat Idul Fitri dan Idul Adha. Selain 5 bangunan tanpa dinding terdapat juga semacam tugu batu yang bernama Lingga Yoni yang merupakan lambing dari kesuburan. Lingga berarti laki-laki dan Yoni berarti perempuan. Bangunan ini berasal dari budaya Hindu. Dan di atas tembok sekeliling kompleks Siti Inggil ini terdapat Candi Laras untuk penyelaras dari kompleks Siti Inggil ini.
Diperoleh dari

Ayam betutu
Dari Wikipedia Indonesia, ensiklopedia bebas berbahasa Indonesia.

Betutu adalah lauk yang terbuat dari ayam atau bebek yang utuh yang berisi bumbu, kemudian dipanggang dalam api sekam. Betutu ini telah dikenal di seluruh kabupaten di Bali. Salah satu produsen betutu adalah desa Melinggih, kecamatam payangan kabupaten Gianyar. Betutu digunakan sebagai sajian pada upacara keagamaan dan upacara adat serta sebagai hidangan dan di jual. Konsumennya tidak hanya masyarakat bali tapi juga tamu manca negara yang datang ke Bali, khususnya pada tempat-tempat tertentu seperti di hotel dan rumah makan/restoran. Betutu tidak tahan disimpan lama.